Langsung ke konten utama

Mendung Fatamorgana

 Mendung Fatamorgana 


Aku melihat mendung di wajahmu

Waktu itu, kau sendiri

Aku hanya memandangi raut yang sepi

Nyatanya, kau tak pernah menyadari


Mendung pun menyeka lukamu

Untuk kesekian lagi, bersama rinai

Renjana yang belum sempat disudahi

Adakah sisa ruang kosong di sisi?

Hatimu yang luruh, harus kembali utuh


Zona ruang dan waktu terus memburu

Entahlah, jejakmu masih saja sama

Barangkali aku yang terlalu

Rahasia semesta masih semu

Anggap saja, ini takdir walau tak harus bersama


Gema detak jantungku masih saja sama

Aku tak tau apa artinya

Lantunannya seperti lagu

Aku hanya bisa menyimak tanpa suara

Untuk sosokmu, memang selalu membuat rindu


Ah! Aku membodohi diri sendiri

Terlalu dalam berharap

Mungkin memang benar begini

Orang yang bermimpi pelangi dalam gelap

Sengaja menghanyutkan diri

Fatamorgana sekali!

Entah sudah berapa kali

Rasa yang memaksaku tak pandai berenang ke tepi


Semakin hari, semakin tak terkendali

Entah sampai kapan

Mendung itu kini di sini

Aku berada di bawahnya

Nun jauh di sana kau tetap seperti biasa

Gelagat tanpa ada kemungkinan kembali

Aku mengulum senyum tanpa asa

Tak bisa lagi, maaf kini aku yang harus pergi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seseorang yang Kusebut "Dia"

Pada suatu malam yang panjang, seseorang tengah menghidupkan sebuah perjuangan. Dia berjalan. Perlahan. Menyebut beberapa nama, lantas kemudian menepikan kata sederhana di ujung kalimat akhir. "Aamiin". Dia tertunduk, pasrah. Sampai ... dia pun tak sempat bertanya pada pohon-pohon atau riwayat embusan angin malam itu yang tidak menyerah menghalau rasa dingin, melesat membawa sebuah ingin. Yang terjadi ... dua telapak tangannya hangat, menampung tetesan air mata. Aku melihat sebuah tanda tanya di sepanjang jalan kenang. Harap yang terus dia teriakkan dalam tenang. Apakah dia bermimpi? Aku rasa tidak. Sebuah keyakinan terpatri kuat dalam hatinya. Tentang kuasa Tuhan yang tiada kata "tak mungkin". Sang Mahakuasa yang bisa membuat ada dari yang mulanya tiada. Kusebut dia seseorang yang tengah menanti. Tatkala Tuhan berkata "kun". Lantas inginnya pun terjadi.

Arti Bahagia

Inilah kita yang sedang tertatih dalam perjalanan. Kita yang barangkali sedang letih berlatih sabar. Kaki-kaki yang terseok dan terjatuh, di medan perjuangan. Kita yang telah menguras hidup dengan dengan segala pengorbanan. Pengorbanan energi, perasaan, pikiran, serta curi-curi waktu untuk sekadar meluruskan punggung pada sandaran. Kehidupan memang seperti ini, ya. Kita paham benar jika tidak semua impian akan datang berwujud kenyataan. Lantas batin pun berkata, "Sudah sejauh ini. Namun, ujungnya semakin tak terlihat." Impian yang kita kira akan membuahkan bahagia, satu per satu berguguran. Meneruskan perjalanan ini atau berputar ke arah yang lain? Baik, kita pilih saja. Tidak ada pilihan yang salah di sini. Tidak apa-apa, kita lakukan saja. Sehebat apa pun kita berencana, tetap rencana-Nya yang akan menuntun kita. Dialah yang berhak penuh dalam menentukan, ke arah mana kita harus berbahagia. Ada yang mengatakan, jika bahagia adalah cara pandang tentang hidup. Di mana unsur s

RAGU

Harapan selalu saja digambarkan dengan sebuah bentuk yang indah nan menawan. Kita berharap, suatu saat keindahan itu bisa kita genggam. Nyatanya, tidak semua harapan atau impian menjelma menjadi realita. Banyak sekali, harapan yang pada akhirnya hanya hidup dalam angan. Kita masih saja berkutat dengan kekhawatiran. Jika nanti ... Padahal hati selalu mengingatkan, ada Sang Maha Penjamin yang sedang menyusun segala skenario terbaik-Nya. Jangan-jangan, kita yang selalu mencoba beriman pada takdir-Nya ini sebenarnya masih menyimpan keraguan? Ragu pada masa depan, sedangkan mulai sekarang masih bisa kita atur ulang. Lebih pantas jika kita meragukan apa yang sudah terlewatkan di masa lalu. Sehingga timbul sebab mengapa kita menjadi ragu seperti ini.