Pada suatu malam yang panjang, seseorang tengah menghidupkan sebuah perjuangan. Dia berjalan. Perlahan. Menyebut beberapa nama, lantas kemudian menepikan kata sederhana di ujung kalimat akhir. "Aamiin". Dia tertunduk, pasrah. Sampai ... dia pun tak sempat bertanya pada pohon-pohon atau riwayat embusan angin malam itu yang tidak menyerah menghalau rasa dingin, melesat membawa sebuah ingin. Yang terjadi ... dua telapak tangannya hangat, menampung tetesan air mata. Aku melihat sebuah tanda tanya di sepanjang jalan kenang. Harap yang terus dia teriakkan dalam tenang. Apakah dia bermimpi? Aku rasa tidak. Sebuah keyakinan terpatri kuat dalam hatinya. Tentang kuasa Tuhan yang tiada kata "tak mungkin". Sang Mahakuasa yang bisa membuat ada dari yang mulanya tiada. Kusebut dia seseorang yang tengah menanti. Tatkala Tuhan berkata "kun". Lantas inginnya pun terjadi.
Katanya, mencintai itu tidak mudah. Tidak semudah jatuh cinta. Sebab di dalamnya terdapat proses dan usaha. Mencintai bukan perkara yang cuma dipandang sebelah mata. Mencintai bukan pula sekedar potret pilihan, yang bisa ditangkap mudah dengan lensa kamera. Karena ada tanggung jawab yang mesti dijaga. Katanya, mencintai itu tidak butuh alasan. Namun, kenyataan menunjukkan tidak selamanya demikian. Mencintai itu bukan hanya sebatas ucapan "I love you", bukan hanya sebatas luahan "I heart you" , bukan pula sebatas rengekan "I miss you". Tidak, nyatanya mencintai tidak seremeh itu. Lantas jika ada pertanyaan, "sejauh mana kamu mencintai agamamu?", "apa saja yang sudah kamu lakukan untuk membuktikan cintamu kepada Tuhanmu?", "bagaimana kamu membuktikan cintamu kepada Rasulmu?", "sedalam apa kamu mencintai orang tuamu?" dan sebagainya, sudahkah ada jawabannya? Mungkin tidak sebatas jawaban biasa, sebab nantinya b